Sumber: http://www.forum-gsmrepair.com/archive/index.php/t-509.html
Indonesia tidak akan kekurangan sampah, sebab menurut World Bank, volume sampah di wilayah perkotaan seluruh Indonesia mencapai 10 juta ton yang akan menghasilkan 404 juta m3 potensi emisi gas metana per tahun atau kurang lebih setara Rp 118 miliar.
KESAN sampah adalah kotor, bau. dan berpotensi menimbulkan penyakit. Lokasi pembuangan yang kumuh, mencemari lingkungan, sehingga harus jauh dari permukiman. Sampah juga dianggap tak punya nilai ekonomis, dan justru untuk membuangnya, warga harus mengeluarkan iuran atau retribusi, mulai Rp 10.000 per bulan untuk perumahan kelas ekonomi sampai tarif yang ratusan ribu untuk perumahan elite di kota-kota besar.
Bahkan, pemerintah melalui UU No18 tahun 2007 tentang Biaya Pengelolaan Sampah menjadi tanggungan pemerintah atau pemda yang dialokasi dalam APBN serta APBD. Tahun 2007 anggaran APBD untuk pengelolaan sampah kota-kota di Jawa Timur mencapai Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar, rata-rata mencapai 0,33 persen dari APBD.
Sampah sering sebagai pelabelan negatif seperti di atas, bahkan untuk menganalogikan individu yang membuat onar atau kekacauan di masyarakat, dengan menyebutnya sampah masyarakat, sehingga seolah-olah sampah menjadi barang “haram dan najis”, yang hanya menimbulkan kerugian manusia.
Citra yang sedemikian parah, ternyata tidak terjadi di Bekasi dan Bali. Pemkot Bekasi berhasil menempatkan sampah menjadi barang produktif dan memiliki kemanfaatan cukup besar bagi warganya. Mereka berhasil mengolah sampah menjadi komoditas yang layak jual.
Majalah Gatra edisi September 2008 menulis, Pemkot Bekasi menjalin kerja sama dengan Pemerintah Belanda yang sepakat membeli Rp 600.000 ton CER (certified emission reduction) sampai tahun 2019. Proyek ini sebagai realisasi dari amanat Protokol Kyoto dalam upaya mengurangi global warming.
Pemkot Bekasi menjalankan proyek CDM (clean development mechanism) dengan membakar gas metana (CH4) yang dihasilkan dari gunungan sampah dengan mendirikan instalasi pembakaran gas (landfit gas flaring) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu Bekasi yang bekerjasama dengan PT Gikoko Kogya Indonesia.
Teknisnya juga tidak terlalu rumit, hanya mengondisikan sampah dalam tumpukan sekitar 10 meter dan kemudian ditutup dengan plastik tebal, yang kemudian ditancapi pipa-pipa sebagai penyalur gas metana, yang dilengkapi kipas penyedot dan kemudian dialirkan ke tabung sekitar 5 meter untuk dibakar.
Gas metana terbentuk secara alamiah, akibat dari proses pembusukan dan penguraian dan termasuk klasifikasi gas rumah kaca yang 21 kali lebih kuat dibandingkan karbondioksida (CO2) dan di TPA mengandung 60 persen gas metana dan sisanya CO2. Yang lebih menggembirakan, Pemkot Bekasi sampai kekurangan stok sampah dan harus ekspansi sampah ke Bogor, sehingga volume sampah di Bogor bisa berkurang.
Dari hasil kerja sama ini, Pemkot Bekasi mendapat bagian 17 persen, yang 10 persen untuk biaya pengembangan persampahan dan 7 persen untuk masyarakat pemulung, termasuk juga untuk pembangunan infrastruktur sosial, misalnya sekolah.
Indonesia tidak akan kekurangan sampah, sebab menurut World Bank, volume sampah di wilayah perkotaan seluruh Indonesia mencapai 10 juta ton yang akan menghasilkan 404 juta m3 potensi emisi gas metana per tahun atau kurang lebih setara Rp 118 miliar. Kalau potensi itu diubah menjadi energi listrik dapat menghasilkan daya sekitar 79 Megawatt.
Jika di Bekasi masih dalam tahap rencana untuk pembangkit tenaga listrik, di TPA Suwung Bali sudah terealisasi. Dengan memanfaatkan potensi sampah sekitar 800 ton, TPA ini menerapkan teknik pengolahan sampah model Galfad (gasification landfill gas and anaerobic digestion), yang diklaim menjadi metode pertama dalam pengolahan sampah menjadi energi listrik. Gas metana di Bali ini juga disedot dan di salurkan ke dalam generator dan nantinya mampu menghasilkan listrik 106 Megawatt.
Potensi Jawa Timur
Prof Dr Yulinah Trihadiningrum MappSc (Guru besar bidang Ilmu Pengolahan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Teknik Lingkungan ITS) pernah mengungkapkan, di Surabaya potensi sampah basar yang dihasilkan 1.251,4 ton.
Sedangkan Imam Utomo (mantan Gubernur Jatim) pada tahun 2004 lalu juga mewacanakan membentuk tim pengolahan di beberapa daerah di Jatim, di antaranya Kabupaten Sidoarjo, Gresik, Kota Surabaya dan Kota Malang, karena potensi sampah yang bisa dihasilkan sebesar 2 .000 ton per hari. Jika potensi sampah di kota-kabupaten se-Jawa Timur diakumulasikan, maka bukan tidak mungkin Provinsi Jawa Timur dapat memiliki pembangkit listrik baru.
Pemkot Malang telah mulai merintis kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang dan Pemerintah Belanda untuk mengkaji dan mengolah sampah yang ada di Malang Raya, sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik.
Sebab data Djojonegoro (1992) dan Wibawa (1996) menyebutkan bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar atau minyak diesel sebagai bahan bakar produksi energi listrik kedepan akan semakin berkurang dan sebaliknya pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, misalnya air, matahari, angin dan biomas mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Misalnya, penggunaan biomas yang menghasilkan 270 Megawatt tahun 1990, meningkat menjadi 290 Megawatt pada 2000 dan tahun 2010 diprediksi menjadi 460 Megawatt, sedangkan penggunaan minyak menghasilkan 2.210 Megawatt tahun 1990, kemudian turun menjadi 1.950 Megawatt tahun 2000 dan diprediksi turun drastis menjadi 320 Megawatt pada tahun 2010.
Bukan sebuah utopis, jika Indonesia akan terlepas dari belitan krisis energi yang membuat listrik sering byar pet jika potensi sebagaimana contoh di atas bisa dioptimalkan.
Indonesia tidak akan kekurangan sampah, sebab menurut World Bank, volume sampah di wilayah perkotaan seluruh Indonesia mencapai 10 juta ton yang akan menghasilkan 404 juta m3 potensi emisi gas metana per tahun atau kurang lebih setara Rp 118 miliar.
KESAN sampah adalah kotor, bau. dan berpotensi menimbulkan penyakit. Lokasi pembuangan yang kumuh, mencemari lingkungan, sehingga harus jauh dari permukiman. Sampah juga dianggap tak punya nilai ekonomis, dan justru untuk membuangnya, warga harus mengeluarkan iuran atau retribusi, mulai Rp 10.000 per bulan untuk perumahan kelas ekonomi sampai tarif yang ratusan ribu untuk perumahan elite di kota-kota besar.
Bahkan, pemerintah melalui UU No18 tahun 2007 tentang Biaya Pengelolaan Sampah menjadi tanggungan pemerintah atau pemda yang dialokasi dalam APBN serta APBD. Tahun 2007 anggaran APBD untuk pengelolaan sampah kota-kota di Jawa Timur mencapai Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar, rata-rata mencapai 0,33 persen dari APBD.
Sampah sering sebagai pelabelan negatif seperti di atas, bahkan untuk menganalogikan individu yang membuat onar atau kekacauan di masyarakat, dengan menyebutnya sampah masyarakat, sehingga seolah-olah sampah menjadi barang “haram dan najis”, yang hanya menimbulkan kerugian manusia.
Citra yang sedemikian parah, ternyata tidak terjadi di Bekasi dan Bali. Pemkot Bekasi berhasil menempatkan sampah menjadi barang produktif dan memiliki kemanfaatan cukup besar bagi warganya. Mereka berhasil mengolah sampah menjadi komoditas yang layak jual.
Majalah Gatra edisi September 2008 menulis, Pemkot Bekasi menjalin kerja sama dengan Pemerintah Belanda yang sepakat membeli Rp 600.000 ton CER (certified emission reduction) sampai tahun 2019. Proyek ini sebagai realisasi dari amanat Protokol Kyoto dalam upaya mengurangi global warming.
Pemkot Bekasi menjalankan proyek CDM (clean development mechanism) dengan membakar gas metana (CH4) yang dihasilkan dari gunungan sampah dengan mendirikan instalasi pembakaran gas (landfit gas flaring) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu Bekasi yang bekerjasama dengan PT Gikoko Kogya Indonesia.
Teknisnya juga tidak terlalu rumit, hanya mengondisikan sampah dalam tumpukan sekitar 10 meter dan kemudian ditutup dengan plastik tebal, yang kemudian ditancapi pipa-pipa sebagai penyalur gas metana, yang dilengkapi kipas penyedot dan kemudian dialirkan ke tabung sekitar 5 meter untuk dibakar.
Gas metana terbentuk secara alamiah, akibat dari proses pembusukan dan penguraian dan termasuk klasifikasi gas rumah kaca yang 21 kali lebih kuat dibandingkan karbondioksida (CO2) dan di TPA mengandung 60 persen gas metana dan sisanya CO2. Yang lebih menggembirakan, Pemkot Bekasi sampai kekurangan stok sampah dan harus ekspansi sampah ke Bogor, sehingga volume sampah di Bogor bisa berkurang.
Dari hasil kerja sama ini, Pemkot Bekasi mendapat bagian 17 persen, yang 10 persen untuk biaya pengembangan persampahan dan 7 persen untuk masyarakat pemulung, termasuk juga untuk pembangunan infrastruktur sosial, misalnya sekolah.
Indonesia tidak akan kekurangan sampah, sebab menurut World Bank, volume sampah di wilayah perkotaan seluruh Indonesia mencapai 10 juta ton yang akan menghasilkan 404 juta m3 potensi emisi gas metana per tahun atau kurang lebih setara Rp 118 miliar. Kalau potensi itu diubah menjadi energi listrik dapat menghasilkan daya sekitar 79 Megawatt.
Jika di Bekasi masih dalam tahap rencana untuk pembangkit tenaga listrik, di TPA Suwung Bali sudah terealisasi. Dengan memanfaatkan potensi sampah sekitar 800 ton, TPA ini menerapkan teknik pengolahan sampah model Galfad (gasification landfill gas and anaerobic digestion), yang diklaim menjadi metode pertama dalam pengolahan sampah menjadi energi listrik. Gas metana di Bali ini juga disedot dan di salurkan ke dalam generator dan nantinya mampu menghasilkan listrik 106 Megawatt.
Potensi Jawa Timur
Prof Dr Yulinah Trihadiningrum MappSc (Guru besar bidang Ilmu Pengolahan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Teknik Lingkungan ITS) pernah mengungkapkan, di Surabaya potensi sampah basar yang dihasilkan 1.251,4 ton.
Sedangkan Imam Utomo (mantan Gubernur Jatim) pada tahun 2004 lalu juga mewacanakan membentuk tim pengolahan di beberapa daerah di Jatim, di antaranya Kabupaten Sidoarjo, Gresik, Kota Surabaya dan Kota Malang, karena potensi sampah yang bisa dihasilkan sebesar 2 .000 ton per hari. Jika potensi sampah di kota-kabupaten se-Jawa Timur diakumulasikan, maka bukan tidak mungkin Provinsi Jawa Timur dapat memiliki pembangkit listrik baru.
Pemkot Malang telah mulai merintis kerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Malang dan Pemerintah Belanda untuk mengkaji dan mengolah sampah yang ada di Malang Raya, sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik.
Sebab data Djojonegoro (1992) dan Wibawa (1996) menyebutkan bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar atau minyak diesel sebagai bahan bakar produksi energi listrik kedepan akan semakin berkurang dan sebaliknya pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, misalnya air, matahari, angin dan biomas mengalami peningkatan yang cukup tajam.
Misalnya, penggunaan biomas yang menghasilkan 270 Megawatt tahun 1990, meningkat menjadi 290 Megawatt pada 2000 dan tahun 2010 diprediksi menjadi 460 Megawatt, sedangkan penggunaan minyak menghasilkan 2.210 Megawatt tahun 1990, kemudian turun menjadi 1.950 Megawatt tahun 2000 dan diprediksi turun drastis menjadi 320 Megawatt pada tahun 2010.
Bukan sebuah utopis, jika Indonesia akan terlepas dari belitan krisis energi yang membuat listrik sering byar pet jika potensi sebagaimana contoh di atas bisa dioptimalkan.
Bookmark this post: |
0 komentar:
[+/-]Click to Show or Hide Old Comments[+/-]Show or Hide Comments
Posting Komentar